Minggu, 27 Januari 2019

Rumah

Rumah
Oleh: M. Ginanjar Eka Arli

Kita hanyalah senyawa kecil dalam semesta yang kerdil
Larut dalam hiruk pikuk dunia
Berangan berbahagia sampai ke nirwana

Di antara sekat-sekat rindu dan benci yang tersesat
Kita pernah hadir dan berbagi harap
Menguar bak aroma kopi yang likat
Lalu hilang di antara pekat langkah yang berderap

Hari-hari membuat kita menjadi biskuit yang lemau
Menghabiskan suara kita yang parau
Menahbiskannya sebagai kenangan masa lampau

Saat kita sudah lelah berjuang
Dan yang bisa dilakukan hanyalah pulang
Maka, sebuah pelukanlah yang kita perlukan kemudian

Rumah tempat kita berlindung
dari kejamnya cacian dan makian,
terpaan dan ujian,
pahitnya kehidupan

Bandung, 28 Januari 2019

Jumat, 25 Januari 2019

J.A.P.



"Ka ...," panggilku padanya.

Gadis berkerudung ungu di sampingku menoleh. Keningnya mengerut, seakan menyadari suaraku yang barusan tercekat. "Iya, Kak?"

Aku menelan ludah. Lidahku kelu, badanku gemetar. Tubuhku terasa dingin. Aneh sekali. Aku yang terbiasa berdiri dan berbicara di depan publik, tiba-tiba saja tak mampu berbicara di hadapannya. Ada apa ini?

"Eng ..., enggak apa-apa. Hati-hati di jalan, ya." Akhirnya, hanya kata itu yang terlontar dari mulutku.

Wajahnya terlihat bingung sejenak, tetapi langsung berubah menjadi tersenyum seperti yang biasa ia ukir. Senyum yang mengalihkan duniaku.

"Baiklah, aku duluan ya, Kak!"

Ekor mataku melihat kepergiannya yang perlahan menjauh. Menghilang dari hadapanku, tetapi tidak beranjak dari hatiku.

***

Udara malam berembus, menusuk sukma, menembus pori-porik kulitku yang perlahan terbuka setelah berolahraga. Ini memang kebiasaan burukku yang konon tidak baik menurut teman-teman olahragawan. Setiap ada pikiran yang mengusik otakku, langkah kaki ini pasti tak kuasa untuk berlari dari Gasibu sampai Alun-Alun Kota Bandung--seakan ingin lari menjauh dan meninggalkan realita yang sedang kuhadapi saat ini.

Pandanganku mengedar. Seperti biasa, tempat ini dipenuhi kumpulan orang tua yang mengajak anak-anaknya bercanda tawa. Entah mengapa, hal itu membuatku iri dengan mereka. Anak-anak itu memang seperti hidup tanpa beban, tak pernah memikirkan besok akan makan apa, ke mana harus bekerja, hingga hal-hal muskil seperti ... cinta.

Banyak orang berkutat dengan definisi dari cinta. Sebagian bersikukuh bahwa cinta adalah pengorbanan, penantian, memberi tanpa harus diberi, dan menerima kelebihan serta kekurangan yang dimiliki pada pasangan kita. Cinta adalah kata kerja, katanya, di mana ia akan terus melakukan sampai saatnya melupakan dan terlupakan.

Lantas, pertanyaannya kemudian adalah: kepada siapa kita harus melabuhkan cinta?

Bertahun-tahun pertanyaan ini bersarang dalam benakku. Sejak awal memiliki ketertarikan tentang cinta, aku memegang teguh komitmen untuk menjatuhkan pilihan hanya pada satu wanita saja. Seseorang yang tepat dan kuharap bisa menjadi orang pertama sekaligus terakhir dalam hidupku.

Namun, jatuh memang selalu menyakitkan.

Jatuh cinta pertamaku berujung sakit yang memilukan. Entah karena tingginya harapan harapan, atau pahitnya dikhianatkan. Dalam bilangan bulan, hubungan kami kandas tanpa sempat mendekati pelaminan.

Sejak itu, aku jadi tidak percaya dengan cinta. Berat rasanya mengungkapkan perasaan kepada seseorang bila hanya berujung penolakan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hatiku beku, sedingin gunung es di kutub utara. Kututup diriku sebagaimana pemerintahan di Korea Utara.

Sampai suatu hari, ia datang dan masuk ke dalam kehidupanku.

Pertemuan pertama itu hanya berlangsung sebentar, tidak disengaja sama sekali, tetapi begitu berkesan bagi hidupku--dan semoga "kami". Aku percaya, kita akan selalu dipertemukan dengan seseorang yang bisa satu frekuensi dalam hidup ini. Orang yang dapat mengerti diri ini hanya lewat tatap, tanpa perlu sedikit pun bibir berucap.

 Dan itulah yang kutemukan dalam dirinya. Obrolan kami mengalir sederas air terjun niagara, tak terhenti sampai sesi diskusi dalam seminar yang kami ikuti diakhiri. Saat itulah, ketika kami hendak berpisah, kuberanikan diri untuk bertanya dan meminta nomornya.

Bisa jadi, itulah satu-satunya momen yang tak pernah kusesali dalam hidup ini.

Berkat secuil keberanian itu, aku bisa mulai mencari tahu tentang dirinya. Latar belakang pendidikan, pengalaman, sahabat, hingga keluarga besarnya.

Mungkin kita membutuhkan waktu seumur hidup untuk melupakan seseorang, tetapi sesungguhnya kita hanya butuh waktu satu detik untuk jatuh cinta padanya.

Dan ketika rasa itu datang, pertanyaan baru pun menjelang. "Apa yang harus kita lakukan?"

Sebagai perempuan, mungkin yang kau lakukan hanya bisa menunggu. Namun, sebagai lelaki, aku tahu bahwa hanya menanti waktu untukku maju memperjuangkanmu.

Dan ketika saat itu datang, satu permintaan yang pasti kuajukan. "Jadikanlah aku pacar (halal)-mu, bersetia di jalan itu, meniti rumah tangga bersama sehidup sesurga."

Jadi, bagaimana jawabanmu?

Sukabumi, 26 Januari 2019
@agi_eka

#KataHatiMenulis #KataHatiChallenge #KataHatiProduction

Sumber gambar: www.lagu.yt

Rabu, 23 Januari 2019

Bahasa Sunda



"Mpit, Bapak di mana?" tanyaku pada salah seorang perempuan asal Subang yang baru seminggu ini menjadi teman satu jurusanku.

Sebagai anak rantau, belum banyak orang yang kukenal di sini. Namun, bisa kupastikan bahwa kini aku menjadi minoritas di antara orang-orang yang berasal dari tataran Priangan. Berhubung kampusku ini berada di Utara Kota Kembang, maka selain warga pribumi kebanyakan memang berasal dari sekitar Sumedang, Garut, Purwakarta, Bekasi, Karawang, Cirebon, Majalengka, Indramayu, dan sekitarnya. Hanya segelintir yang berasal dari luar pulau, termasuk diriku yang memiliki darah Sumatera.

Gadis berkacamata di hadapanku berpikir sejenak akan pertanyaan barusan. Setelah mengingat-ingat, wajahnya berubah cerah dan berujar, "Oh, iya. Kayaknya beliau lagi di 'air', deh, Gi."

Sebentar. Aku tidak salah dengar, kah?
Bapak sedang di "air"? Apa maksudnya itu?

Benakku langsung membayangkan, apakah maksudnya beliau baru saja berenang dan sekarang sedang membasuh diri sebelum masuk ke kelas?

Astaga. Sepanas apa pun cuaca hari ini, tetapi tetap saja logika itu tidak masuk dalam benakku. Jadi, kuputuskan untuk ke toilet sebentar--sekadar membuang sedikit cairan dan mendinginkan kepalaku yang mulai panas membayangkan dosen Matematika Dasar sedang berenang di kolam sore ini.

Namun, tepat di depan pintu kamar mandi, aku berpapasan dengan seorang pria tinggi dengan rambut cepak dan kacamatanya yang khas. Lelaki itu tampak baru saja mencuci muka untuk menyegarkan wajahnya.

Eh, tunggu dulu.
Kalau aku tidak salah ingat ... bukankah beliau adalah dosenku?!

Otakku langsung berpikir cepat, memproses semua hal yang barusan terjadi. Rasanya hasratku untuk buang air kecil langsung hilang, berganti dengan mencari kepastian atas secuil informasi yang baru saja terpikirkan.

Bergegas kucari Mpit untuk mengonfirmasi sesuatu yang barusan masih sebatas dugaan. Setelah menemukan dirinya sedang membuka tas dan mencari catatan, dengan terengah-engah kupotong aktivitas tersebut dan langsung bertanya, "Mpit, 'air' yang kamu maksud tadi ... itu artinya 'toilet', ya?"

Gadis itu terkejut melihatku yang seakan mau mati penasaran kalau pertanyaan tadi tidak langsung terjawab. Dengan singkat, ia hanya menjawab, "Iya, Gi. Itu bahasa Sunda."

Astaga ... ternyata, se-simple itu.

Belakangan, memang kuketahui beberapa bahasa Sunda itu memang lucu. Banyak yang diambil dari sebutan atau suara yang mereka dengar. Contoh sederhananya adalah stapler.

Benda berbentuk U ini memang memiliki nama-nama tidak resmi, seperti pengokot, cekrekan, dan lain sebagainya. Namun, orang Sunda menyebutnya dengan istilah jegrekan, hanya karena terdenger bunyi "jegrek" ketika benda itu dipakai--sesuai dengan pendengaran mereka, tentunya.

Pengalaman unik yang sama tentang bahasa ini juga kutemukan saat melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang. Sebagaimana etika orang yang baru datang, kami pun berkunjung ke rumah kepala desa yang kerap dipanggil Pak Kuwu oleh warga sekitar.

Rumah beliau sangat sederhana. Kami bersepuluh dijamu dengan hangat pada ruang tamu rumahnya tersebut. Setelah menyapa dan berbasa-basi sebentar, beliau tiba-tiba bertanya kepadaku selaku ketua kelompok di sana.

"Cep, ari istri teh aya sabaraha?"

Ebuset, deh, ini Pak Kuwu. Baru kenal, kok, tiba-tiba udah nembak main tanya istri aja. Enggak tahu kali, ya, kalau aku udah ngejomlo bertahun-tahun? Jujur, pertanyaan itu langsung menohok ulu hatiku yang paling dalam. :"(

Baru saja mau menjawab status menyedihkanku itu, tiba-tiba seorang kawanku bernama Raka menyahut dari samping. "Istri teh aya opat, Pak."

Astaga .... Otakku seakan berjumpalitan kembali!

Aku tahu bahwa temanku yang berasal dari Cirebon itu cukup tampan. Akan tetapi, masa iya, sih, dia udah nikah dan punya empat istri? Yang artinya, kuota nikah dia udah full, dong!

Aku membayangkan, bagaimana dia membagi waktu di tengah perkuliahan dengan empat istri ini. Di saat pikiranku tengah mengembara tersebut, tiba-tiba ia melanjutkan perkataannya. "Upami pameugeut teh aya genep, Pak."

Sebentar. Sepertinya ada yang salah di sini.

Aku tahu arti opat adalah "empat", dan genep adalah "enam". Empat dan enam, kalau dijumlahkan menjadi sepuluh. Sesuai dengan jumlah anggota pada kelompok kami.

Sebuah pemikiran kembali mengusik otakku. Apakah yang selama ini kupikirkan salah, ya? Cepat-cepat, kukonfirmasi pada Iqbal, orang Sunda tulen yang paham akan bahasa yang disebutkan oleh Raka barusan.

"Bal ... Iqbal. Mau tanya, dong."

Lelaki itu hanya melirikku jengah, seakan tak suka diganggu di tengah pertemuan semiformal seperti ini. "Apaan, Gi?"

"Istri itu ... bahasa Sunda yang artinya 'cewek', ya?"

Seakan paham maksudku, ia pun menahan tawa dan berusaha untuk tidak tergelak. Kuperhatikan wajahnya yang memerah, menahan napas, seraya kemudian berujar padaku. "Ya iyalah, Gi. Masa 'istri' yang itu?"

Kami pun sama-sama tertawa di dalam hati, sembari menutupi wajah kami yang mungkin sekarang sudah terkontrol lagi.

Konyol. Bahasa Sunda memang unik.
Tapi, itu juga yang membuatku tertarik untuk mempelajarinya lebih dalam lagi. Sebab, kalau bukan kita yang melestarikannya, mau siapa lagi?

Bandung, 24 Januari 2019
@agi_eka

#KataHatiChallenge #KataHatiProduction #KataHatiChallenge

Catatan Kaki:
1) Cep, ari istri teh aya sabaraha? = Ganteng, kalau perempuannya ada berapa?

2) Istri teh aya opat, Pak. = Perempuannya ada empat, Pak.

3) Upami pamegeut teh aya genep, Pak. = Kalau laki-lakinya ada enam, Pak.

Sumber gambar: ayobandung.com

Senin, 21 Januari 2019

Kapan?


"Kapan?"

Adalah salah satu pertanyaan yang tidak pernah berujung.

Di suatu meja makan, pada saat kami tengah bercengkerama, bersua dan melepas rindu bersama saudara, pertanyaan itu muncul kembali.

"Jadi, kapan, Gi?"

Keringat deras kembali mengucur di sekujur tubuhku. Aku tahu pertanyaan ini akan keluar, tetapi tetap saja rasanya kaget dan tak siap tatkala mendengarnya secara langsung.

Kuperhatikan lelaki berkumis yang rambutnya mulai memutih itu. Kutebak, puluhan tahun ia mengarungi kehidupan rumah tangga pasti sangat memengaruhi penilaian dia.

Aku tahu ia sangat tegas dan keras, bahkan ke anak sendiri. Kudengar dari salah seorang anaknya bahwa ia pernah melakukan hal ini dan hal itu atas kesalahan yang tidak bisa ia tolerir.

Kuteguk dulu segelas air yang ada di meja tersebut. Perlahan, cairan itu membasahi tenggorokanku dan membanjiriku dengan kenangan. Tujuh tahun berkuliah dan membuat semua orang menanti tentu bukanlah waktu yang sebentar. Termasuk, oleh si dia.

Bukan tanpa alasan juga aku menunda wisuda. Entah karena penolakanku terhadap tuntutan orang tua, atau mungkin juga alam bawah sadarku yang sedang menikmati masa-masa bebas yang tak pernah kurasakan sebelumnya.

Berawal dari undangan untuk berbagi seputar kepenulisan di Garut pada awal tahun 2018 ini, lalu berkeliling Jawa Barat dalam rangka kunjungan cabang pada organisasi yang aku ikuti saat ini, hingga sekarang bisa duduk di tengah riuh keluarga jauh dari pihak Mama yang berada di Palembang.

Tak pernah kusangka, tahun ini kakiku jauh melangkah ke mana-mana, sekaligus semakin meninggalkan jejak karirku di kampus. Padahal, tinggal merampungkan hasil-hasil penelitian yang telah kulakukan di tahun lalu, kemudian semuanya akan beres.

Tali tiga akan berpindah dari kiri ke kanan, atau malah sebaliknya? Entahlah. Aku bahkan belum sampai memikirkan hal remeh temeh yang katanya menjadi apresiasi empat tahun--atau lebih--kita berkuliah ini. Satu-satunya yang kupikirkan sekarang adalah bagaimana menjawab pertanyaan tadi?

Kuatur kalimat sebaik mungkin. Bismillah saja lah, apa pun hasilnya toh semua pertanyaan pasti memiliki jawaban. Meskipun itu hanya sekadar berkata "tidak tahu".

"Doakan ya, Ayah," sahutku dengan suara gemetar, "Insya Allah setelah lebaran ini akan Agi lanjutkan kembali."

Selang beberapa detik, kata-katanya kembali menggelegar di seluruh ruangan. "Kenapa bisa? Tahu begini--"

Entah kalimat apa lagi yang keluar dari beliau, aku tak peduli. Aku tahu, inti utamanya adalah menasihatiku. Padahal, sejujurnya aku sudah muak dengan nasihat. Seperti apa yang disampaikan sampai berbusa oleh Papaku.

Di penghujung semester, masa-masa terakhir kita berkuliah ini, semua mahasiswa pasti tahu batas akhir masa hidupnya di kampus ini. Namun, kadang kala justru mereka bingung harus dari mana mereka memulai? Karya seperti apa yang harus mereka buat?

Mahasiswa itu lebih butuh bimbingan ketimbang nasihat. Kita lebih butuh rangkulan ketimbang makian dan cacian. Namun, para orang tua memang hanya bisa berucap tanpa bisa menjadi tauladan. Barang kali itu juga yang membuat beberapa anak lebih betah di luar ketimbang pulang ke tempat yang tidak bisa ia sebut "rumah" lagi.

Puas memberikan petuahnya, lelaki yang kusebut Ayah--kakak ipar dari Mamaku--kemudian menutup dengan ultimatum. "Kalau semester ini kamu belum lulus juga, jangan injakkan kaki lagi di Palembang. Dan jangan pernah tunjukkan wajah kamu lagi di hadapan Ayah!"

Sekakmat. Tidak ada yang paling kutakutkan selain dibenci oleh seseorang. Tanpa dibilang begitu, sebetulnya aku pun ingin segera menyelesaikan perkuliahan yang mulai menjengkelkan ini. Entah mengapa, kampus yang sekarang tidak sama lagi dengan masa-masa dulu. Apakah karena teman-temanku sudah perlahan menghilang di telan dunianya masing-masing? Aku tak tahu.

Yang jelas, lulus tepat waktu, menjadi PNS, dan menikah, adalah yang selalu diharapkan oleh orang tua. Mungkin saja, ketika hati kecilku memberontak, aku memilih untuk telat (banget) menyelesaikan perkuliahan ini, berniat tidak mengambil selembar kertas yang disebut "ijazah" agar tidak bisa mendaftar PNS, tapi tetap saja tidak akan menolak untuk pilihan ketiga.

Semua orang yang waras pasti ingin menikah. Apalagi, ketika sudah ada seseorang yang menanti nun jauh di sana.

Kamu.
Iya, kamu.

Masih sanggupkah bertahan sebentar lagi?
Sembari menutup telinga atas pertanyaan "Kapan" lainnya yang juga tengah menghujanimu dari waktu ke waktu?

Percayalah, orang lebih membutuhkan pembuktian daripada janji dan perkataan. Oleh karenanya, itulah yang juga saat ini sedang kuperjuangkan.

Bandung, 22 Januari 2019
@agi_eka


#KataHatiChallenge #KataHatiProduction #KataHatiMenulis

Minggu, 02 Desember 2018

Pemuda, Jomblo, dan Masa Depan Bangsa

Pernah gak sih kalian membayangkan suatu hari datang ke rumah calon mertua, berkenalan dengan mereka, lalu ditanyakan sebuah pertanyaan horor yang membuat hampir seluruh pemuda bergidik ngeri. "Apa pekerjaannya sekarang?"

Tentu saja, menikah itu perkara mudah. Namun, tanggung jawabnya itu yang susah dipertanggungjawabkan 🙈

Di balik ijab sah yang kita (?) ucapkan, terdapat kewajiban menafkahi secara lahir dan batin. Di balik kalimat ijab qabul yang kita (?) ikrarkan, terletak biaya kuliah, gamis model terbaru, hingga gawai dengan aplikasi terkini yang tengah menanti di ujung sana.

Akhirnya, solusi yang mau tidak mau harus kita upayakan hanya satu: bekerja.

Di era milenial yang maju pesat ini--yang disebut orang-orang sebagai era Teknologi 4.0--tentu saja bentuk pekerjaan telah beraneka ragam. Bekerja tidak dapat diartikan sebatas berpakaian rapi lengkap dengan dasi, berangkat pagi dan pulang kala petang hari. Tidak. Tentu saja tidak. Hanya orang tua yang sudah menua dimakan zaman yang konon masih berpikiran sebatas itu.

Dengan data masyarakat pengguna internet yang diperoleh dari Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) Republik Indonesia sebanyak 56%, yakni sekitar 143 juta jiwa--khususnya anak milenial sejumlah di atas 60%, maka dapat kita yakini bahwa angka tersebut memiliki banyak potensi besar. Selain jumlah target market yang dapat dikatakan sangat potensial, di sisi lain juga hal ini bisa menjadi peluang usaha yang besar juga, terutama untuk para anak muda di Indonesia.



Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Dirjen IKP) Kemkominfo, Rosarita Niken Widiastuti, dalam Forum Merdeka Barat (FMB'9) di Bandung (29/11) mengatakan bahwa pembagian akses internet dalam masyarakat berkisar untuk chating sebesar 60%, browsing 50%, dan video streaming 35%, sementara pembuatan aplikasi 24%, pembuatan program 5%, dan transaksi 15%.

Bisa kita bayangkan, budaya konsumtif masyarakat kita masih cukup tinggi ketimbang pemberdayaan untuk pengembangan diri. Maka, hadirnya berbagai start up menjadi salah satu kekuatan juga yang dapat mendukung kemajuan bangsa di era digitalisasi ini.

Sebut saja salah satu contohnya yakni aplikasi Go-Jek. Dengan adanya start up tersebut, banyak budaya masyarakt yang kini cenderung berubah. Dari segi transportasi, ketimbang menunggu bus dan angkot, sekarang kita bisa langsung diantar menggunakan gojek. Lapar? Tinggal pesan gofood dsn makanan segera diantar. Bahkan, pemesanan tiket dan lainnya bisa menggunakan fasilitas GoTix dan semacamnya.

Bila ditilik dari banyaknya capaian-capaian di berbagai bidang ini, maka Dirjen IKP dengan optimisnya percaya bahwa pada tahun 2030 nanti, Indonesia berpotensi menjadi negara maju kelima di dunia. Tentu saja, untuk mencapai hal tersebut, perlu adanya sinergisitas antara semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah. Atas dasar hal tersebutlah, pemerintah kemudian tak tinggal diam.

Sebagai regulator, fasilitator, dan juga agregator, pemerintah sebagai pemangku kebijakan lantas berinisiatif untuk membuat dan menerapkan konsep smart city. Ya, konsep yang tidak hanya menyiapkan sarana dan prasarana ini, tetapi juga turut mengubah mindset masyarakat untuk berpartisipasi aktif sekalkgjs mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat Indonesia.

Untuk mendorong digitalisasi ekonomi, salah satu usaha pemerintah juga mendorong terciptanya 1.000 start up. Tentu saja, semua hal itu melalui berbagai proses, mulai dari pendaftaran, seleksi, pembinaan melalui workshop, pembentukan tim, hingga tahap inkubasi sebagai akhir dsri prototype. Tak hanya sampai di sana. Dari 8 juta UMKM yang ikut program pendampingan ekonomi digital, saat ini sudah mencapai 82% atau lebih dari 6,4 juta unit usaha juga turut dibina oleh pemerintah.

Ketika UMKM tersebut telah sukses, maka penting juga agar cerita sukses mereka disiarkan agar membantu menginspirasi yang lain, sebagaimana yang disarankan oleh Refa Riana, seorang pengamat sosial, yang turut berbagi dalam acara Diskusi Media Forum Merdeka Barat 9 (Dismed #FMB9) bertema "Membangun Indonesia, Menyejahterakan Jawa Barat". Dengan roda yang terus berputar dan saling menggerakkan dari berbagai daerah ini, diharapkan dapat memicu pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang signifikan di berbagai daerah.

Jika masyarakat maju, Sumber Daya Manusia semakin bermutu, dan kita--sebagai anak muda--memiliki pekerjaan dan masa depan yang anti mati kutu, pasti calon mertua pun setuju untuk memberikan restu tanpa ragu.

Jadi, siap #MembangunJabar dan keluarga di tahun 2019 nanti? :)

Informasi lebih lanjut terkait program pemerintah demi memajukan perekonomian masyarakat dan berbagai hasil diskusi dalam kegiatan FMB 9 ini bisa diikuti secara langsung di www.fmb9.id, FMB9ID (Twitter), FMB9.ID (Instagram), FMB9.ID (Facebook), dan FMB9ID (Youtube).